MENJAGA HUTAN
INDONESIA
Oleh:
Khoirun Nisa’
Hutan Indonesia merupakan sumber daya alam yang tidak bersifat common property. Pengelolaannya dikuasai
pemerintah dan pihak swasta (dengan izin tertentu). Namun, kepemilikan hutan
yang kurang jelas menyebabkan hutan menjadi bersifat common property resource. Eksploitasi hutan Indonesia seperti
deforestasi mengganggu keseimbangan alam Indonesia. Deforestasi
menurut World Bank (1990) adalah peristiwa hilangnya tutupan hutan baik
yang bersifat permanen maupun sementara. FAO (1990) mengatakan bahwa
deforestasi adalah konversi hutan untuk penggunaan lain-lain. Deforestasi yang
terjadi di Indonesia merupakan kejadian yang tidak bisa dipandang sebelah mata
mengingat bahwa hutan Indonesia memiliki peran penting bagi dunia.
Hutan Indonesia
merupakan salah satu media penyerap karbondioksida (CO2) terbesar di dunia
setelah hutan Brazil dan hutan Republik Kongo (Resosudarmo dan Sunderlin,
2007). Selain peran tersebut, hutan Indonesia memiliki keanekaragaman hayati
terbesar kedua di dunia setelah hutan Brazil (Resosudarmo dan Sunderlin, 1997).
Artinya, deforestasi hutan Indonesia mendorong peningkatan efek Gas Rumah Kaca
(GRK) dunia yang berujung pada pemanasan global dan mengancam habitat
makhluk hidup yang ada di dalamnya. misalnya konversi hutan ke pemukiman maupun
pertanian. Faktanya, laju deforestasi di Indonesia selama periode tersebut
adalah sebesar 1.51 juta ha per tahun (Sumargo, et.al. 2011).
Barbier
et al. (1993) dan Fraser (1996) berpandangan bahwa pertumbuhan penduduk
merupakan penyebab utama deforestasi di Indonesia. Sedangkan menurut
Resosudarmo et al. (1997), penyebab deforestasi di
Indonesia adalah untuk memenuhi kebutuhan sandang-pangan-papan masyarakat yang
meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan untuk meningkatkan
aktivitas lainnya yang berhubungan dengan pertumbuhan ekonomi. Misal, alih guna
lahan. Tidak jarang pula kegiatan alih guna lahan menyebabkan kebakaran hutan. Berikut
perkembangan area hutan Indonesia yang terdeforestasi pada 1990-2010.
Gambar 1:
Perkembangan
Deforestasi di Indonesia Periode 1990-2010
Berdasarkan
gambar di atas, deforestasi hutan di Indonesia dapat dikatakan berjalan dengan
cepat. Kondisi tersebut sangatlah berbahaya mengingat peran hutan Indonesia yang
telah disebutkan sebelumnya. Menghadapi kondisi demikian, diperlukan kesadaran
masyarakat untuk melestarikan hutan Indonesia sebagai ujung tombak
peletariannya. Salah satu kesadaran masyarakat tersebut tertuang dalam kearifan
lokal daerah, contohnya adalah kearifan lokal masyarakat Dayak yaitu Nataki. Nataki
adalah budaya masyarakat Dayak untuk melestarikan hutan di wilayah mereka. Nataki
berarti membatasi atau memagari sesuatu agar tidak meluas atau merembes. Nataki
digunakan pada saat membuka hutan dengan membakar lahan agar tidak menyebabkan
kebakaran hutan. Oleh sebab itu, nataki biasanya dilakukan secara kolektif
(berkelompok). Nataki biasanya dilakukan dengan upacara (ritual) adat tertentu.
Namun, saat ini upacara adat hanya dilakukan sebagian saja. Misalnya; membaca
doa dan menyembelih ayam.
Langkah-langkah
Nataki adalah berikut. Pertama, merobohkan pepohonan, belukar, atau
ilalang di sekeliling lahan yang hendak dibakar (disebut batas api). Lebarnya
tiga hingga lima meter. Kedua, setelah dirobohkan, pepohonan, belukar atau ilalang
tadi dikumpulkan di lahan yang ingin dibakar. Tindakan membersihkan batas api bertujuan
untuk mencegah terciptanya media penjalaran prosesi pembakaran. Prosesi
pembersihan ini tidak mudah karena lahan yang yang ingin dibakar biasanya dalam
hitungan hektar. Tujuannya adalah untuk bekerja secara efektif. Namun artinya,
batas api yang diperlukan juga besar (luas). Ketiga, lahan sudah bisa dibakar. Prosesi
pembakaran lahan masyarakat Dayak memperhatikan arah angin. Mereka mengawali
prosesi sesuai arah tiupan angin. Biasanya ujung lahan dibakar terlebih dahulu,
sedikit demi sedikit. Tujuannya adalah antisipasi api menjalar apabila angin
membesar. Setelah pembakaran lahan selesai, lahan tersebut dibiarkan kosong
selama tiga atau empat bulan. Tujuannya adalah mengendapkan abu sisa pembakaran
untuk menjadi pupuk alami. Sehingga, hasil pertanian menjadi bagus. Seusai masa
panen, lahan tersebut dibiarkan tujuh hingga delapan bulan agar pepohonan
kembali tumbuh sebelum lahan dibuka kembali.
Penggunaan
nataki oleh masyarakat Dayak untuk menjaga keseimbangan alam mereka diimplementasikan
dengan sungguh-sungguh. Jika ada masyarakat Dayak yang membuka lahan tanpa
Nataki, maka orang tersebut mendapat hukuman adat. Bahkan, masyarakat Dayak
mengajukan orang tersebut ke penegak hukum daerah. Seperti inilah potret kearifan
lokal masyarakat Dayak.
Efendi, Yusuf. (2011).
Hutan Tetap Lestari dengan Nataki. [Online]. Tersedia: http://melayu
online.com/ind/opinion/read/455/hutan-tetap-lestari-dengan-nataki
Resosudarmo, Ida A.P
and William D. Sunderlin. 1996. “Rates and Causes of Deforestation in
Indonesia: Towards a Resolution of The Ambiguities”. Occasional Paper.
CIFOR.
Sumargo,
Wirendro et al. 2011. Potret Keadaan Hutan Indonesia Periode
2000-2009.
World Bank. [Online] Diakses tanggal 13 September 2013.
(http://data.worldbank.org/)
0 komentar :
Posting Komentar