Home » » NATAKI: KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT DAYAK MENJAGA HUTAN INDONESIA

NATAKI: KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT DAYAK MENJAGA HUTAN INDONESIA

Written By Unknown on Minggu, 10 Agustus 2014 | 19.24

NATAKI: KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT DAYAK
MENJAGA HUTAN INDONESIA

Oleh: Khoirun Nisa’

Hutan Indonesia merupakan sumber daya alam yang tidak bersifat common property. Pengelolaannya dikuasai pemerintah dan pihak swasta (dengan izin tertentu). Namun, kepemilikan hutan yang kurang jelas menyebabkan hutan menjadi bersifat common property resource. Eksploitasi hutan Indonesia seperti deforestasi mengganggu keseimbangan alam Indonesia. Deforestasi menurut World Bank (1990) adalah peristiwa hilangnya tutupan hutan baik yang bersifat permanen maupun sementara. FAO (1990) mengatakan bahwa deforestasi adalah konversi hutan untuk penggunaan lain-lain. Deforestasi yang terjadi di Indonesia merupakan kejadian yang tidak bisa dipandang sebelah mata mengingat bahwa hutan Indonesia memiliki peran penting bagi dunia.
Hutan Indonesia merupakan salah satu media penyerap karbondioksida (CO2) terbesar di dunia setelah hutan Brazil dan hutan Republik Kongo (Resosudarmo dan Sunderlin, 2007). Selain peran tersebut, hutan Indonesia memiliki keanekaragaman hayati terbesar kedua di dunia setelah hutan Brazil (Resosudarmo dan Sunderlin, 1997). Artinya, deforestasi hutan Indonesia mendorong peningkatan efek Gas Rumah Kaca (GRK) dunia yang berujung pada pemanasan global dan mengancam habitat makhluk hidup yang ada di dalamnya. misalnya konversi hutan ke pemukiman maupun pertanian. Faktanya, laju deforestasi di Indonesia selama periode tersebut adalah sebesar 1.51 juta ha per tahun (Sumargo, et.al. 2011).
Barbier et al. (1993) dan Fraser (1996) berpandangan bahwa pertumbuhan penduduk merupakan penyebab utama deforestasi di Indonesia. Sedangkan menurut Resosudarmo et al. (1997), penyebab deforestasi di Indonesia adalah untuk memenuhi kebutuhan sandang-pangan-papan masyarakat yang meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan untuk meningkatkan aktivitas lainnya yang berhubungan dengan pertumbuhan ekonomi. Misal, alih guna lahan. Tidak jarang pula kegiatan alih guna lahan menyebabkan kebakaran hutan. Berikut perkembangan area hutan Indonesia yang terdeforestasi pada 1990-2010.

Sumber: World Bank (diolah)
Gambar 1:
Perkembangan Deforestasi di Indonesia Periode 1990-2010

Berdasarkan gambar di atas, deforestasi hutan di Indonesia dapat dikatakan berjalan dengan cepat. Kondisi tersebut sangatlah berbahaya mengingat peran hutan Indonesia yang telah disebutkan sebelumnya. Menghadapi kondisi demikian, diperlukan kesadaran masyarakat untuk melestarikan hutan Indonesia sebagai ujung tombak peletariannya. Salah satu kesadaran masyarakat tersebut tertuang dalam kearifan lokal daerah, contohnya adalah kearifan lokal masyarakat Dayak yaitu Nataki. Nataki adalah budaya masyarakat Dayak untuk melestarikan hutan di wilayah mereka. Nataki berarti membatasi atau memagari sesuatu agar tidak meluas atau merembes. Nataki digunakan pada saat membuka hutan dengan membakar lahan agar tidak menyebabkan kebakaran hutan. Oleh sebab itu, nataki biasanya dilakukan secara kolektif (berkelompok). Nataki biasanya dilakukan dengan upacara (ritual) adat tertentu. Namun, saat ini upacara adat hanya dilakukan sebagian saja. Misalnya; membaca doa dan menyembelih ayam.
Langkah-langkah Nataki adalah berikut. Pertama, merobohkan pepohonan, belukar, atau ilalang di sekeliling lahan yang hendak dibakar (disebut batas api). Lebarnya tiga hingga lima meter. Kedua, setelah dirobohkan, pepohonan, belukar atau ilalang tadi dikumpulkan di lahan yang ingin dibakar. Tindakan membersihkan batas api bertujuan untuk mencegah terciptanya media penjalaran prosesi pembakaran. Prosesi pembersihan ini tidak mudah karena lahan yang yang ingin dibakar biasanya dalam hitungan hektar. Tujuannya adalah untuk bekerja secara efektif. Namun artinya, batas api yang diperlukan juga besar (luas). Ketiga, lahan sudah bisa dibakar. Prosesi pembakaran lahan masyarakat Dayak memperhatikan arah angin. Mereka mengawali prosesi sesuai arah tiupan angin. Biasanya ujung lahan dibakar terlebih dahulu, sedikit demi sedikit. Tujuannya adalah antisipasi api menjalar apabila angin membesar. Setelah pembakaran lahan selesai, lahan tersebut dibiarkan kosong selama tiga atau empat bulan. Tujuannya adalah mengendapkan abu sisa pembakaran untuk menjadi pupuk alami. Sehingga, hasil pertanian menjadi bagus. Seusai masa panen, lahan tersebut dibiarkan tujuh hingga delapan bulan agar pepohonan kembali tumbuh sebelum lahan dibuka kembali.
Penggunaan nataki oleh masyarakat Dayak untuk menjaga keseimbangan alam mereka diimplementasikan dengan sungguh-sungguh. Jika ada masyarakat Dayak yang membuka lahan tanpa Nataki, maka orang tersebut mendapat hukuman adat. Bahkan, masyarakat Dayak mengajukan orang tersebut ke penegak hukum daerah. Seperti inilah potret kearifan lokal masyarakat Dayak.

Sumber Pustaka
Efendi, Yusuf. (2011). Hutan Tetap Lestari dengan Nataki. [Online]. Tersedia: http://melayu online.com/ind/opinion/read/455/hutan-tetap-lestari-dengan-nataki
Resosudarmo, Ida A.P and William D. Sunderlin. 1996. “Rates and Causes of Deforestation in Indonesia: Towards a Resolution of The Ambiguities”. Occasional Paper. CIFOR.
Sumargo, Wirendro et al. 2011. Potret Keadaan Hutan Indonesia Periode 2000-2009.

World Bank. [Online] Diakses tanggal 13 September 2013.  (http://data.worldbank.org/)

0 komentar :

Posting Komentar