Home » » KEARIFAN LOKAL BALI DALAM MEREDUKSI SISI GELAP PEMBANGUNAN SEKTOR PARIWISATA

KEARIFAN LOKAL BALI DALAM MEREDUKSI SISI GELAP PEMBANGUNAN SEKTOR PARIWISATA

Written By Unknown on Selasa, 15 Juli 2014 | 23.38

KEARIFAN LOKAL BALI DALAM MEREDUKSI SISI GELAP PEMBANGUNAN SEKTOR PARIWISATA
Oleh
Andiga Kusuma Nur Ichsan[*]
            Pertumbuhan dan pembangunan ekonomi adalah tema sentral yang dilakukan oleh semua negara di dunia demi menciptakan kemajuan di negaranya. Indikator kemajuan sebuah negara tersebut adalah meningkatnya taraf hidup masyrakat guna menjadi manusia yang bermartabat. Namun pertumbuhan maupun pembangunan ekonomi memiliki aspek negatif bahkan sisi gelap yang tidak luput dari proses perjalanannya. Menurut Mariyah (2004), desain kebijakan pembangunan ekonomi dengan dukungan iptek yang berorientasi pertumbuhan dan berpihak pada sekelompok kecil pemodal besar menciptakan tatanan yang timpang dan eksploitatif. Hal ini sangat tampak dalam fenomena pariwisata di Bali, karena proyek-proyek besar kepariwisataan dikuasai oleh pemodal-pemodal besar luar daerah yang hanya berorientasi profit jangka pendek semata serta tidak begitu mengindahkan keberadaan rakyat maupun kebudayaan dan kearifan lokal.
            Pembangunan pariwisata di Bali berskala besar selain menimbulkan konflik sosial, ternyata juga menimbulkan perusakan serta pencemaran lingkungan. Pencemaran terhadap air, udara dan tanah terjadi akibat pembangunan yang mengeksploitasi sumber daya alam secara berlebihan. Alih fungsi tanah dari sektor pertanian ke sektor pariwisata dan pembabatan hutan secara besar-besaran menyebabkan kesuburan tanah menjadi berkurang dan pengairan yang terhambat. Tumpukan sampah serta polusi udarapun semakin memprihatinkan. Pembangunan pariwisata Bali memiliki dampak negatif terhadap lingkungan fisik yang mudah terlihat baik dari air, tanah, maupun udara.
            Kawasan hutan dibabat untuk sarana pariwisata sehingga berpengaruh terhadap kelestarian lingkungan. Jika seluruh kawasan hutan ditebang dan digunakan untuk kepentingan pariwisata serta mengesampingkan fungsi hutan itu sendiri, akan membawa dampak yang negatif seperti banjir dan tanah longsor. Sehingga meskipun tujuan pembangunan untuk sarana pariwisata namun dampak negatif ini tentu saja dapat menjadi bumerang mematikan pariwisata Bali.
            Kerusakan alam di Bali semakin tidak terbendung selama 10 tahun terakhir, seperti yang dinyatakan oleh Ayuni (2012) abrasi pantai mencapai 91,070 km dari total 436 km panjang garis pantai yang ada, lahan kritis seluas 286.938 ha, dan bahkan suhu udara naik mencapai 33 derajat celcius. Berdasarkan data Buku Status Lingkungan Hidup Daerah Bali tahun 2007, luas lahan kritis di Bali mencapai 286.938 ha, yang terletak pada kawasan hutan dan luar kawasan hutan. Lahan kritis ini diidentifikasi ke dalam empat bagian, yakni sangat kritis (5.575 ha); kritis (27.850 ha); agak kritis (106.099 ha) dan potensial kritis (147.414 ha). Peningkatan luas lahan kritis ini bahkan sangat drastis, yakni mencapai 500% jika dibandingkan dengan tahun 2004 dengan catatan lahan kritis seluas 55.313 ha. Sementara itu, luas penurunan Ruang Terbuka Hijau Kota (RTHK) di Bali ini dapat dilihat dari sisi perubahan pemanfaatan sawah menjadi kegiatan pembangunan, dengan rata-rata perubahan 105 ha/tahun.
            Hamparan lahan pertanian kini berubah menjadi gedung, villa, dan hotel yang dibangun dengan mengesampingkan fungsi lahan itu sendiri. Banyak lahan-lahan produktif yang dialih fungsikan begitu saja untuk pembangunan pariwisata. Seperti kawasan wisata Ubud, Gianyar serta kawasan Bali selatan dan tempat lainnya di Bali. Banyak obyek wisata yang dibangun dengan memanfaatkan lahan produktif. Hal inilah yang semakin menyiratkan bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi pada era ini membuat semakin banyak masyarakat yang berpedoman pada kepentingan masing-masing serta berpacu untuk mengejar keuntungan yang sebesar-besarnya dan mengesampingkan kelestarian lingkungan hidup. Tidak hanya itu, masyarakat juga semakin tergerus moral dan nilai-nilai budayanya sehingga dalam membangun sarana pariwisata mengesampingkan adat dan budaya serta kepercayaan yang dimiliki oleh masyarakat Bali.
Masyarakat Bali sebagai satu kesatuan geografis, suku, ras, agama sesungguhnya memiliki nilai kearifan lokal yang telah teruji dan terbukti daya jelajah sosialnya dalam mengatasi berbagai problematika kehidupan sosial. Nilai kearifan lokal yang berkembang dan diyakini sebagai perekat sosial yang kerap menjadi acuan dalam menata hubungan dan kerukunan antar sesama umat beragama maupun hubungannya dengan lingkungan. Nilai kearifan lokal di Bali tersebut, diantaranya;
1. Nilai kearifan Tri Hita Karana; suatu nilai tentang harmonisasi hubungan manusia dengan tuhan (sutata parhyangan), hubungan manusia dengan sesama umat manusia (sutata pawongan) dan harmonisasi hubungan manusia dengan alam lingkungannya (sutata palemahan). Nilai kearfian lokal ini telah mampu menjaga dan menata pola hubungan sosial masyarakat yang berjalan sangat dinamis.

Diagram 1. Tri Hita Karana
Lingk. Spiritiual

Text Box: Manusia
 




Lingk. Sosial              Lingk. Fisik (Alam)
2. Nilai kearifan lokal Tatwam Asi; kamu adalah aku dan aku adalah kamu, nilai ini memberikan fibrasi bagi sikap dan prilaku mengakui eksistensi seraya menghormati orang lain sebagaimana menghormati diri sendiri. Nilai ini menjadi dasar yang bijaksana dalam membangun peradaban demokrasi modern yang saat ini sedang digalakkan.
Dari nilai-nilai kerafian lokal tersebut akan bermakna bagi kehidupan sosial di Bali apabila dapat menjadi rujukan dan bahan acuan dalam menjaga dan menciptakahn relasi sosial yang harmonis. Sistem pengetahuan lokal ini seharusnya dapat dipahami sebagai sistem pengetahuan yang dinamis dan berkembang terus secara kontekstual  sejalan dengan tuntutan kebutuhan manusia yang semakin heterogen dan kompleks.
World Tourism Organization juga sebenarnya sudah menggariskan sebuah kebijakan tentang pariwisata berkelanjutan. Kebijakan ini menitikberatkan pada tiga hal yaitu keberlanjutan alam, sosial dan budaya, dan ekonomi. Konsep ini menggambarkan bahwa pengembangan pariwisata tidak boleh merusak alam lingkungan dan lahan terutama pertanian. Dalam kaitannya dengan pembangunan pariwisata pula kiranya perlu mengkonseptualisasikan kembali nilai-nilai kearifan lokal Bali. Jika nilai kearifan Tri Hita Karana dan Tatwam Asi menjadi landasan filosofis pembangunan sektor pariwisata di Bali, seyogyanya permasalahan-permasalahan seperti koflik sosial dan kerusakan alam di Bali dapat dicegah sejak dini dan juga menjadi proteksi terhadap sisi gelap pertumbuhan dan pembangunan itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Geriya, I Wayan. 2004. Dinamika Nilai-Nilai Budaya Bali Dalam Pembanguna. Yogyakarta: Pilar Politika.
Mariyah, Emiliana, 2004. Sisi Gelap Pertumbuhan Pembangunan Di Bali. Yogyakarta: Pilar Politika.
http://cesckadek.wordpress.com/  Pariwisata dan Pencemaran Lingkungan di Bali (Ayuni) diakses pada tanggal 14 September 2012.





[*] Mahasiswa S1 Ekonomi Pembangunan Unversitas Airlangga 2011 – Konsentrasi Ekonomi Lingkungan

0 komentar :

Posting Komentar