KEARIFAN
LOKAL BALI DALAM MEREDUKSI SISI GELAP PEMBANGUNAN SEKTOR PARIWISATA
Oleh
Andiga Kusuma Nur Ichsan[*]
Pertumbuhan
dan pembangunan ekonomi adalah tema sentral yang dilakukan oleh semua negara di
dunia demi menciptakan kemajuan di negaranya. Indikator kemajuan sebuah negara
tersebut adalah meningkatnya taraf hidup masyrakat guna menjadi manusia yang
bermartabat. Namun pertumbuhan maupun pembangunan ekonomi memiliki aspek
negatif bahkan sisi gelap yang tidak luput dari proses perjalanannya. Menurut
Mariyah (2004), desain kebijakan pembangunan ekonomi dengan dukungan iptek yang
berorientasi pertumbuhan dan berpihak pada sekelompok kecil pemodal besar
menciptakan tatanan yang timpang dan eksploitatif. Hal ini sangat tampak dalam
fenomena pariwisata di Bali, karena proyek-proyek besar kepariwisataan dikuasai
oleh pemodal-pemodal besar luar daerah yang hanya berorientasi profit jangka
pendek semata serta tidak begitu mengindahkan keberadaan rakyat maupun
kebudayaan dan kearifan lokal.
Pembangunan
pariwisata di Bali berskala besar selain menimbulkan konflik sosial, ternyata
juga menimbulkan perusakan serta pencemaran lingkungan. Pencemaran terhadap
air, udara dan tanah terjadi akibat pembangunan yang mengeksploitasi sumber
daya alam secara berlebihan. Alih fungsi tanah dari sektor pertanian ke sektor
pariwisata dan pembabatan hutan secara besar-besaran menyebabkan kesuburan
tanah menjadi berkurang dan pengairan yang terhambat. Tumpukan sampah serta
polusi udarapun semakin memprihatinkan. Pembangunan pariwisata Bali memiliki
dampak negatif terhadap lingkungan fisik yang mudah terlihat baik dari air,
tanah, maupun udara.
Kawasan
hutan dibabat untuk sarana pariwisata sehingga berpengaruh terhadap kelestarian
lingkungan. Jika seluruh kawasan hutan ditebang dan digunakan untuk kepentingan
pariwisata serta mengesampingkan fungsi hutan itu sendiri, akan membawa dampak
yang negatif seperti banjir dan tanah longsor. Sehingga meskipun tujuan pembangunan
untuk sarana pariwisata namun dampak negatif ini tentu saja dapat menjadi
bumerang mematikan pariwisata Bali.
Kerusakan
alam di Bali semakin tidak terbendung selama 10 tahun terakhir, seperti yang
dinyatakan oleh Ayuni (2012) abrasi pantai mencapai 91,070 km dari total 436 km
panjang garis pantai yang ada, lahan kritis seluas 286.938 ha, dan bahkan suhu
udara naik mencapai 33 derajat celcius. Berdasarkan data Buku Status Lingkungan
Hidup Daerah Bali tahun 2007, luas lahan kritis di Bali mencapai 286.938 ha,
yang terletak pada kawasan hutan dan luar kawasan hutan. Lahan kritis ini
diidentifikasi ke dalam empat bagian, yakni sangat kritis (5.575 ha); kritis
(27.850 ha); agak kritis (106.099 ha) dan potensial kritis (147.414 ha).
Peningkatan luas lahan kritis ini bahkan sangat drastis, yakni mencapai 500%
jika dibandingkan dengan tahun 2004 dengan catatan lahan kritis seluas 55.313
ha. Sementara itu, luas penurunan Ruang Terbuka Hijau Kota (RTHK) di Bali ini
dapat dilihat dari sisi perubahan pemanfaatan sawah menjadi kegiatan
pembangunan, dengan rata-rata perubahan 105 ha/tahun.
Hamparan
lahan pertanian kini berubah menjadi gedung, villa, dan hotel yang dibangun
dengan mengesampingkan fungsi lahan itu sendiri. Banyak lahan-lahan produktif
yang dialih fungsikan begitu saja untuk pembangunan pariwisata. Seperti kawasan
wisata Ubud, Gianyar serta kawasan Bali selatan dan tempat lainnya di Bali.
Banyak obyek wisata yang dibangun dengan memanfaatkan lahan produktif. Hal
inilah yang semakin menyiratkan bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
pada era ini membuat semakin banyak masyarakat yang berpedoman pada kepentingan
masing-masing serta berpacu untuk mengejar keuntungan yang sebesar-besarnya dan
mengesampingkan kelestarian lingkungan hidup. Tidak hanya itu, masyarakat juga
semakin tergerus moral dan nilai-nilai budayanya sehingga dalam membangun
sarana pariwisata mengesampingkan adat dan budaya serta kepercayaan yang
dimiliki oleh masyarakat Bali.
Masyarakat
Bali sebagai satu kesatuan geografis, suku, ras, agama sesungguhnya memiliki
nilai kearifan lokal yang telah teruji dan terbukti daya jelajah sosialnya
dalam mengatasi berbagai problematika kehidupan sosial. Nilai kearifan lokal
yang berkembang dan diyakini sebagai perekat sosial yang kerap menjadi acuan
dalam menata hubungan dan kerukunan antar sesama umat beragama maupun hubungannya
dengan lingkungan. Nilai kearifan lokal di Bali tersebut, diantaranya;
1.
Nilai kearifan Tri Hita Karana; suatu nilai tentang harmonisasi hubungan
manusia dengan tuhan (sutata parhyangan),
hubungan manusia dengan sesama umat manusia (sutata pawongan) dan harmonisasi hubungan manusia dengan alam
lingkungannya (sutata palemahan).
Nilai kearfian lokal ini telah mampu menjaga dan menata pola hubungan sosial
masyarakat yang berjalan sangat dinamis.
Diagram 1. Tri Hita
Karana

![]() |
Lingk. Sosial Lingk. Fisik (Alam)
2.
Nilai kearifan lokal Tatwam Asi; kamu adalah aku dan aku adalah kamu, nilai
ini memberikan fibrasi bagi sikap dan prilaku mengakui eksistensi seraya
menghormati orang lain sebagaimana menghormati diri sendiri. Nilai ini menjadi
dasar yang bijaksana dalam membangun peradaban demokrasi modern yang saat ini
sedang digalakkan.
Dari nilai-nilai
kerafian lokal tersebut akan bermakna bagi kehidupan sosial di Bali apabila
dapat menjadi rujukan dan bahan acuan dalam menjaga dan menciptakahn relasi
sosial yang harmonis. Sistem pengetahuan lokal ini seharusnya dapat dipahami
sebagai sistem pengetahuan yang dinamis dan berkembang terus secara kontekstual sejalan dengan tuntutan kebutuhan manusia
yang semakin heterogen dan kompleks.
World Tourism
Organization juga sebenarnya sudah menggariskan sebuah kebijakan tentang
pariwisata berkelanjutan. Kebijakan ini menitikberatkan pada tiga hal yaitu
keberlanjutan alam, sosial dan budaya, dan ekonomi. Konsep ini menggambarkan
bahwa pengembangan pariwisata tidak boleh merusak alam lingkungan dan lahan
terutama pertanian. Dalam kaitannya dengan pembangunan pariwisata pula kiranya
perlu mengkonseptualisasikan kembali nilai-nilai kearifan lokal Bali. Jika
nilai kearifan Tri Hita Karana dan Tatwam Asi menjadi landasan filosofis
pembangunan sektor pariwisata di Bali, seyogyanya permasalahan-permasalahan
seperti koflik sosial dan kerusakan alam di Bali dapat dicegah sejak dini dan
juga menjadi proteksi terhadap sisi gelap pertumbuhan dan pembangunan itu
sendiri.
DAFTAR
PUSTAKA
Geriya,
I Wayan. 2004. Dinamika Nilai-Nilai
Budaya Bali Dalam Pembanguna. Yogyakarta: Pilar Politika.
Mariyah,
Emiliana, 2004. Sisi Gelap Pertumbuhan
Pembangunan Di Bali. Yogyakarta: Pilar Politika.
http://cesckadek.wordpress.com/ Pariwisata
dan Pencemaran Lingkungan di Bali (Ayuni) diakses pada tanggal 14 September
2012.
0 komentar :
Posting Komentar