Hutan Indonesia merupakan salah satu hutan tropis
terluas di dunia dan ditempatkan pada urutan kedua dalam hal tingkat
keanekaragaman hayatinya. Hutan Indonesia memberikan manfaat berlipat ganda baik
secara langsung maupun tidak langsung kepada manusia untuk memenuhi hampir
semua kebutuhan manusia.
Ironisnya, pertumbuhan sektor kehutanan yang sangat
pesat dan menggerakkan ekspor bagi perekonomian tahun 1980-an sampai 1990-an
dicapai dengan mengorbankan hutan karena praktek kegiatan kehutanan yang tidak
lestari. Konsekuensinya, Indonesia tercatat sebagai Negara penyumbang emisi
terbesar ketiga didunia yang berasal dari penebangan hutan yang berlebihan
dengan laju deforestasi yang tinggi.
Seperti yang kita ketahui sumber daya hutan
Indonesia mengalami penurunan yang terus menerus selama beberapa dekade yang
telah lalu. Jika berbagai tekanan terhadap sumber daya hutan tidak ditangani
secara baik maka Indonesia akan dicap sebagai pihak yang telah membiarkan saja
hilangnya hutan huja terakhir yang sedemikian luas di Asia Tenggara. Sulawesi
telah kehilangan semua hutan hujan dataran redahnya sementara itu hutan hujan
tropis di sumatera akan lenyap pada tahun 2020 begitu juga dengan hutan yang
ada di Kalimantan.
Pergolakan politik dan ekonomi yang belakangan ini
melanda negara ini telah menenggelamkan sebagian besar perhatian masyarakat
akan keadaan lingkungan yang sedang dalam kondisi kritis. Tingkat degradasi
lingkungan yang semakin tinggi seharusnya menjadi sebuah pusat perhatian dari
pemerintah mengingat betapa pentingnya lingkungan terhadap kelangsungan hidup
umat manusia. Sementara itu, pemerintah pusat maupun daerah masih saja
memandang sumber daya alam khususnya hutan sebagai sumber penghasilan yang sangat
dibutuhkan dan sebagai sarana perlindungan politik. Pendekatan semacam ini tak
ubahnya sebagai suatu tindakan bunuh diri nasional.
Tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini
adalah penyusunan kebijakan-kebijakan baru untuk mencegah konflik yang lebih
parah dan untuk menjaga kelestarian lingkungan. Kebutuhan yang mendesak adalah
melakukan reformasi hukum, perubahan paradigma politik dan menjaga kestabilan
ekonomi atas tanah dan sumber daya alam yang dimiliki Indonesia.
setidak-tidaknya harus dimunculkan paradigm baru tentang manajemen lingkungan
dengan pendekatan yang mempertimbangkan nilai-nilai sosiokultural lingkungan
serta aspek-aspek makroekonomi dan konservasi.
Berbagai dampak utama ekonomi terhadap hutan-hutan
bersumber dari depresiasi rupiah dan posisi komoditas Indonesia yang semakin
bersaing di pasar Internasiona, memikat pertumbuhan berbagai ekspor pertanian
dan sumber daya alam untuk mempertahankan perekonomian dan ketidakamanan
penghasilan di kalangan penduduk pedesaan yang berjibaku langsung dengan hutan.
Pada masa orde baru harga kayu lapis Indonesia yang relatif rendah, ditambahkan
dengan peningkatan permintaan kayu terutama dari China dan terbatasnya pasokan
kayu menjadi salah satu pendorong kenapa deforestasi terjadi besar-besaran
terjadi pada masa itu.
Kebijakan pembangunan kehutanan tidak mampu
memperbaiki kinerja pengelolaan hutan. Sebagai salah satu langkah yang bisa
diambil pemerintah untuk mengatasi hal ini adalah dengan kebijakan penurunan
jatah produksi kayu dari hutan alam secara bertahap (soft landing) melalui
Kepmenhut No.19/Kpts-II/2003. Kebijakan ini ternyata tidak mampu menjawab
persoalan kehutanan di Indonesia, terbukti dari masih berlangsungnya perusakan
hutan, terutama pengolahan kayu telah memicu pesatnya pertumbuhan industri kayu
di Indonesia sehingga eksploitasi besar-besaran terjadi dalam rangka pemenuhan
bahan baku.
Penggunaan sumber daya alam yang adil dan
berkelanjutan di Indonesia lebih besar bergantung kepada reformasi politik
mengingat Indonesia merupakan Negara yang masih hijau dalam hal demokrasi. Bertahun-tahun
lamanya sistem pengelolaan hutan yang berpihak kepada para pengusaha besar
cenderung menyingkirkan masyarakat yang juga memiliki hak pengelolaan atas
hutan. Hal ini telah menimbulkan konflik politik atas sumber daya alam di
Indonesia yang akhirnya berkembang menjadi konflik horizontal yang penuh
kekerasan akibat tidak adilnya system pengelolaan sumber daya alam di
Indonesia.
Desentralisasi muncul sebagai salah satu kebijakan
untuk meredam konflik politik serta ekonomi dan untuk menjaga kelangsungan
hutan Indonesia. akan tetapi, desentralisasi disektor kehutanan yang didorong
oleh keinginan agar tidak terjadi pemusatan kekuasaan justru menambah parahnya
eksploitasi hutan Indonesia. Pemerintah daerah masih memahami bahwa kebebasan
untuk melakukan pengelolaan secara otonom semata-mata adalah untuk peningkatan PAD.
Berbagai persoalan di sektor kehutanan terutama setelah penerapan otonomi
daerah adalah korupsi yang telah mengakar dan melibatkan banyak pihak. Kelemahan
dari desentralisasi kehutanan di Indonesia terletak pada penerapannya yang
dilakukan terburu-buru tanpa melalui persiapan yang cukup untuk menjamin
peralihan kewenangan yang mulus. Dibeberapa daerah kata ‘otonomi’ cenderung
dipandang sebagai ‘auto money’ atau kewenangan untuk memperoleh
keuntungan.
Politik yang kurang sehat mendukung adanya praktek
korupsi disektor kehutanan setelah para-para mafia kehutanan ini dimanjakan
oleh peraturan yang masih tumpang tindih masalah kehutanan dalam otonomi
daerah. Pemberian ijin IPKH telah dijadikan sarana untuk menampung kayu-kayu
illegal dan kasus-kasus pembalakan liar yang dilakukan oleh perusahaan HPH
maupun industri kehutanan nyatanya banyak melibatkan aparat-aparat pemerintah
daerah baik sipil maupun militer. Dampak dan kerugian akibat perusakan hutan
sungguh luar biasa. Illegal logging mengakibatkan kerugian keuangan
Negara sebesar Rp 35 triliyun per tahun (www.dephut.go.id) sementara kerugian negara akibat korupsi perizinan
mengakibatkan kerugian sebesar Rp 12 trilliyun.
Melihat situasi kehutanan Indonesia semakin rumit,
mengapa pemerintah daerah tidak menggunakan momentum desentralisasi untuk
mengatur hak kepemilikan daripada menyerahkan kepada HPH yang cenderung lebih
eksploitatif. Memikirkan kembali kepemilikan sumber daya akan masih tetap tabu,
karena secara tidak langsung akan menyangkut pemikiran kembali tentang
pengendalian wilayah oleh pemerintah. Dalam hal ini, Departemen Kehutanan perlu
menyerahkan kendali atas tanah yang sanag luas. Departemen dan pemerintah
daerah enggan melakukannya karena lahan dan hutan diatasnya masih merupakan
sumber penting pendapatan dan kekuasaan politik.
Mengenai ketidakterkaitan, tidak jelas siapa yang
bertanggung jawab atas jaminan hak kepemilikan. Pemerintah yang mengeluarkan
ijin IPKH tidak mampu atau tidak menunjukkan keinginan untuk mengatur atau
memberikan jaminan serta batasan atas hak kepemilikan. Berlapis-lapisnya
ketidakjelasan pengalokasian hutan intu mungkin menguntungkan pemerintah daerah
yang bisa mengalokasikan lahan untuk hal-hal yang mereka nilai paling penting
dan sesuai dengan kepentingan mereka. Dalam kondisi seperti ini, menjaga status
quo mungkin merupakan strategi yang disengaja (De Soto, 2012). Status quo ini
mengakibatkan kebingungan atas siapa yang berwenang mengatur kepemilikan sumber
daya, serta peraturan yang tidak konsistem dan tidak mengikat menimbulkan
persaingan bebas untuk memperebutkan sumber daya.
0 komentar :
Posting Komentar