Home » » Hutan, Ekonomi dan Politik Sebuah tragedi yang tiada akhir

Hutan, Ekonomi dan Politik Sebuah tragedi yang tiada akhir

Written By Unknown on Selasa, 19 Agustus 2014 | 19.07



Hutan Indonesia merupakan salah satu hutan tropis terluas di dunia dan ditempatkan pada urutan kedua dalam hal tingkat keanekaragaman hayatinya. Hutan Indonesia memberikan manfaat berlipat ganda baik secara langsung maupun tidak langsung kepada manusia untuk memenuhi hampir semua kebutuhan manusia.
Ironisnya, pertumbuhan sektor kehutanan yang sangat pesat dan menggerakkan ekspor bagi perekonomian tahun 1980-an sampai 1990-an dicapai dengan mengorbankan hutan karena praktek kegiatan kehutanan yang tidak lestari. Konsekuensinya, Indonesia tercatat sebagai Negara penyumbang emisi terbesar ketiga didunia yang berasal dari penebangan hutan yang berlebihan dengan laju deforestasi yang tinggi.
Seperti yang kita ketahui sumber daya hutan Indonesia mengalami penurunan yang terus menerus selama beberapa dekade yang telah lalu. Jika berbagai tekanan terhadap sumber daya hutan tidak ditangani secara baik maka Indonesia akan dicap sebagai pihak yang telah membiarkan saja hilangnya hutan huja terakhir yang sedemikian luas di Asia Tenggara. Sulawesi telah kehilangan semua hutan hujan dataran redahnya sementara itu hutan hujan tropis di sumatera akan lenyap pada tahun 2020 begitu juga dengan hutan yang ada di Kalimantan.
Pergolakan politik dan ekonomi yang belakangan ini melanda negara ini telah menenggelamkan sebagian besar perhatian masyarakat akan keadaan lingkungan yang sedang dalam kondisi kritis. Tingkat degradasi lingkungan yang semakin tinggi seharusnya menjadi sebuah pusat perhatian dari pemerintah mengingat betapa pentingnya lingkungan terhadap kelangsungan hidup umat manusia. Sementara itu, pemerintah pusat maupun daerah masih saja memandang sumber daya alam khususnya hutan sebagai sumber penghasilan yang sangat dibutuhkan dan sebagai sarana perlindungan politik. Pendekatan semacam ini tak ubahnya sebagai suatu tindakan bunuh diri nasional.
Tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini adalah penyusunan kebijakan-kebijakan baru untuk mencegah konflik yang lebih parah dan untuk menjaga kelestarian lingkungan. Kebutuhan yang mendesak adalah melakukan reformasi hukum, perubahan paradigma politik dan menjaga kestabilan ekonomi atas tanah dan sumber daya alam yang dimiliki Indonesia. setidak-tidaknya harus dimunculkan paradigm baru tentang manajemen lingkungan dengan pendekatan yang mempertimbangkan nilai-nilai sosiokultural lingkungan serta aspek-aspek makroekonomi dan konservasi.
Berbagai dampak utama ekonomi terhadap hutan-hutan bersumber dari depresiasi rupiah dan posisi komoditas Indonesia yang semakin bersaing di pasar Internasiona, memikat pertumbuhan berbagai ekspor pertanian dan sumber daya alam untuk mempertahankan perekonomian dan ketidakamanan penghasilan di kalangan penduduk pedesaan yang berjibaku langsung dengan hutan. Pada masa orde baru harga kayu lapis Indonesia yang relatif rendah, ditambahkan dengan peningkatan permintaan kayu terutama dari China dan terbatasnya pasokan kayu menjadi salah satu pendorong kenapa deforestasi terjadi besar-besaran terjadi pada masa itu.
Kebijakan pembangunan kehutanan tidak mampu memperbaiki kinerja pengelolaan hutan. Sebagai salah satu langkah yang bisa diambil pemerintah untuk mengatasi hal ini adalah dengan kebijakan penurunan jatah produksi kayu dari hutan alam secara bertahap (soft landing) melalui Kepmenhut No.19/Kpts-II/2003. Kebijakan ini ternyata tidak mampu menjawab persoalan kehutanan di Indonesia, terbukti dari masih berlangsungnya perusakan hutan, terutama pengolahan kayu telah memicu pesatnya pertumbuhan industri kayu di Indonesia sehingga eksploitasi besar-besaran terjadi dalam rangka pemenuhan bahan baku.
Penggunaan sumber daya alam yang adil dan berkelanjutan di Indonesia lebih besar bergantung kepada reformasi politik mengingat Indonesia merupakan Negara yang masih hijau dalam hal demokrasi. Bertahun-tahun lamanya sistem pengelolaan hutan yang berpihak kepada para pengusaha besar cenderung menyingkirkan masyarakat yang juga memiliki hak pengelolaan atas hutan. Hal ini telah menimbulkan konflik politik atas sumber daya alam di Indonesia yang akhirnya berkembang menjadi konflik horizontal yang penuh kekerasan akibat tidak adilnya system pengelolaan sumber daya alam di Indonesia.
Desentralisasi muncul sebagai salah satu kebijakan untuk meredam konflik politik serta ekonomi dan untuk menjaga kelangsungan hutan Indonesia. akan tetapi, desentralisasi disektor kehutanan yang didorong oleh keinginan agar tidak terjadi pemusatan kekuasaan justru menambah parahnya eksploitasi hutan Indonesia. Pemerintah daerah masih memahami bahwa kebebasan untuk melakukan pengelolaan secara otonom semata-mata adalah untuk peningkatan PAD. Berbagai persoalan di sektor kehutanan terutama setelah penerapan otonomi daerah adalah korupsi yang telah mengakar dan melibatkan banyak pihak. Kelemahan dari desentralisasi kehutanan di Indonesia terletak pada penerapannya yang dilakukan terburu-buru tanpa melalui persiapan yang cukup untuk menjamin peralihan kewenangan yang mulus. Dibeberapa daerah kata ‘otonomi’ cenderung dipandang sebagai ‘auto money’ atau kewenangan untuk memperoleh keuntungan.
Politik yang kurang sehat mendukung adanya praktek korupsi disektor kehutanan setelah para-para mafia kehutanan ini dimanjakan oleh peraturan yang masih tumpang tindih masalah kehutanan dalam otonomi daerah. Pemberian ijin IPKH telah dijadikan sarana untuk menampung kayu-kayu illegal dan kasus-kasus pembalakan liar yang dilakukan oleh perusahaan HPH maupun industri kehutanan nyatanya banyak melibatkan aparat-aparat pemerintah daerah baik sipil maupun militer. Dampak dan kerugian akibat perusakan hutan sungguh luar biasa. Illegal logging mengakibatkan kerugian keuangan Negara sebesar Rp 35 triliyun per tahun (www.dephut.go.id) sementara kerugian negara akibat korupsi perizinan mengakibatkan kerugian sebesar Rp 12 trilliyun.
Melihat situasi kehutanan Indonesia semakin rumit, mengapa pemerintah daerah tidak menggunakan momentum desentralisasi untuk mengatur hak kepemilikan daripada menyerahkan kepada HPH yang cenderung lebih eksploitatif. Memikirkan kembali kepemilikan sumber daya akan masih tetap tabu, karena secara tidak langsung akan menyangkut pemikiran kembali tentang pengendalian wilayah oleh pemerintah. Dalam hal ini, Departemen Kehutanan perlu menyerahkan kendali atas tanah yang sanag luas. Departemen dan pemerintah daerah enggan melakukannya karena lahan dan hutan diatasnya masih merupakan sumber penting pendapatan dan kekuasaan politik.
Mengenai ketidakterkaitan, tidak jelas siapa yang bertanggung jawab atas jaminan hak kepemilikan. Pemerintah yang mengeluarkan ijin IPKH tidak mampu atau tidak menunjukkan keinginan untuk mengatur atau memberikan jaminan serta batasan atas hak kepemilikan. Berlapis-lapisnya ketidakjelasan pengalokasian hutan intu mungkin menguntungkan pemerintah daerah yang bisa mengalokasikan lahan untuk hal-hal yang mereka nilai paling penting dan sesuai dengan kepentingan mereka. Dalam kondisi seperti ini, menjaga status quo mungkin merupakan strategi yang disengaja (De Soto, 2012). Status quo ini mengakibatkan kebingungan atas siapa yang berwenang mengatur kepemilikan sumber daya, serta peraturan yang tidak konsistem dan tidak mengikat menimbulkan persaingan bebas untuk memperebutkan sumber daya.

0 komentar :

Posting Komentar